Dua minggu lalu, Majelis Umum PBB mengadakan pertemuan tahunannya di New York. Para kepala negara dan duta besar dari seluruh dunia menyampaikan pidato mengenai isu-isu penting yang mempengaruhi kemanusiaan. Perwakilan dari komite tingkat tinggi yang menangani isu-isu utama membuat rekomendasi mengenai segala hal mulai dari resistensi antimikroba dan kenaikan permukaan laut hingga tujuan pembangunan berkelanjutan. Majelis Umum melakukan pemungutan suara mengenai hal-hal penting, termasuk dokumen baru PBB “sekali dalam satu generasi” yang mewakili perjanjian global untuk melindungi generasi mendatang dari ancaman nyata saat ini.
Namun, setiap kali Majelis Umum bersidang, kritik dan skeptisisme bermunculan dari seluruh aspek organisasi PBB. Beberapa penganut teori konspirasi memandang PBB sebagai sebuah bentuk pemerintahan dunia yang bertekad mengubah warga AS menjadi “pengikut” totalitarianisme lingkungan hidup global atau mewajibkan warga AS menjadi umpan meriam bagi komandan militer asing. Catatan cemoohan mantan Presiden dan kandidat Partai Republik saat ini, Donald Trump, dan upayanya untuk mengurangi kontribusi Amerika Serikat kepada PBB memperparah kekhawatiran tersebut.
Tentu saja, PBB sebenarnya masih jauh dari sebuah pemerintahan dunia: PBB hampir tidak bisa mengeluarkan resolusi, apalagi melucuti senjata tiran atau menghentikan negara adidaya untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Namun hal ini, pada gilirannya, telah menimbulkan banyak kritik dari aktor-aktor lain yang memandang Dewan Keamanan sebagai tidak representatif, tunduk pada negara-negara besar, dan secara umum boros dan tidak efektif. Semua ini benar, namun ini hanyalah ciri-ciri, bukan kelemahan: desentralisasi dan inefisiensi justru merupakan akar dari kritik dan seruan reformasi saat ini, yang membantu PBB tidak hanya bertahan namun juga menjadi sangat efektif dalam pekerjaannya.